Pengunjung Website
Hari Ini: 6,419
Minggu Ini: 178,926
Bulan Ini: 963,595
|
Jumlah Pengunjung: 14,362,448

Mil MI-1, Helikopter latih pertama TNI AU

Helikopter SM-1 merupakan salah satu jenis helikopter yang dioperasionalkan TNI AU pada era 1950-an.   Prototipe awal SM-1 adalah GM-1 (Gelikopter Mil atau helikopter Mil), yang diproduksi oleh perusahaan Mikhail Mil.  GM-1 mulai dirancang sejak tahun 1947, dan terbang perdana pada September 1948. Nama perusahaan Mikhail Mil diambil dari nama seorang perancang helikopter pertama Rusia, yaitu Mikhail Leontyevich Mil, seorang Teknisi Skuadron Rotor Pertama Angkatan Udara Soviet pada Perang Dunia II.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, GM-1 terus dikembangkan menjadi helikopter Mil Mi-1.   Tahun 1951, pertama kalinya Mil Mi-1 dipamerkan ke dunia Barat melalui pameran di Tushino Air Display.  Saat itu, Mil Mi-1 telah di produksi dalam jumlah yang banyak untuk angkatan bersenjata Uni Soviet, dan diekspor ke sekutu Uni Soviet untuk keperluan sipil dan militer.

Sejak tahun 1954, Mi-1 diproduksi pula di Polandia oleh perusahaan WSK-Swidnik, dengan nama SM-1, dan dirancang dalam berbagai versi yang berbeda. Sebagian besar produksi helikopter SM-1 di Polandia untuk ekspor. Produksi SM-1 di Polandia mencapai ribuan dan berakhir pada tahun 1965, sedangkan produksi Mi-1 di Uni Soviet berakhir tahun 1961. NATO menyebut Mil Mi-1 dengan sebutan “Hare”/Kelinci, karena bentuknya menyerupai Kelinci.

SM-1 Indonesia

Sejak berdirinya AURI sampai dengan tahun 1952, seluruh kekuatan AURI terdiri dari jenis Fixed Wing Aircraft.   Sejalan dengan perkembangan tehnologi kedirgantaraan dunia internasional, serta didukung kondisi geografis Indonesia, AURI membutuhkan jenis pesawat rotary wing atau helikopter untuk meng-cover tugas yang tidak bisa dilakukan oleh pesawat fixed wing.

Keberadaan pesawat helikopter di Indonesia, diawali dengan berhasilnya Wiweko Soepono menyelesaikan sekolah penerbang helikopter di Amerika tahun 1950 dengan jenis Hiller-360 yang mulai datang di Indonesia tahun 1953, dan Wiweko  menjadi penerbang helikopter pertama Indonesia.  Wiweko kemudian membagi pengetahuan dan pengalamannya kepada Letnan Udara II Joem Soemarsono.  Kemudian Joem Soemarsono bersama Letnan Udara I R. Soemarsono mengikuti sekolah penerbang Helikopter jenis Hiller-12 B di Amerika.  Pulang dari Amerika mereka mentransformasikan ilmu yang didapat kepada Soewoto Soekendar, Suti Harsono dan Kusnidar.   Joem Soemarsono yang juga  seorang teknisi  pesawat helikopter dibantu oleh beberapa teknisi lainnya merawat pesawat-pesawat yang sudah dimiliki yaitu Hiller-360 B, Hiller-12B, Bell-47 G2 Trooper, dan SM-1. Suatu hal istimewa pada era ini adalah bahwa Presiden RI Ir. Soekarno merupakan presiden pertama di dunia yang menggunakan helikopter sebagai pesawat kepresidenan, yang kemudian dalam perkembangan selanjutnya diikuti oleh negara-negara lainnya.

Untuk mewadahi helikopter yang sudah ada, Kasau mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 31 tahun 1956 tentang pembentukan Skadron Percobaan Helikopter.  Dengan bertambahnya jumlah pesawat dan penerbang helikopter, kemudian Kasau mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 93 tanggal 20 Juni 1957 tentang peningkatan Skadron Percobaan Helikopter menjadi Skadron Helikopter, sekaligus sebagai kesatuan di bawah Komando Group Komposisi (KGK).   Skadron ini berkedudukan di PAU Husein Sastranegara dan diresmikan tanggal 20 Juni 1957 serta mengangkat Letnan Udara IR. Soemarsono menjadi Komandan Skadron.  Dengan peningkatan status ini,  meningkat pula peran serta helikopter dalam mendukung tugas-tugas negara, baik OMP maupun OMSP, sehingga penambahan armada helikopter menjadi skala prioritas dalam mengembangkan kekuatan AURI saat itu, yakni dengan mendatangkan berbagai jenis pesawat dari negara-negara Blok Timur, diantaranya dengan membeli helikopter jenis SM-1 dari Polandia sebanyak delapan unit,  yang mulai berdatangan antara tahun 1958-1959.

Kedatangan helikopter SM-1 di Indonesia, juga membawa serta seorang instruktur terbang bernama Mr. Richard Widskorsky yang  mendidik dan melatih dua orang pilot TNI AU yakni Soewoto Soekendar dan Ashadi Tjahjadi untuk mengawaki SM-1.   Dengan semakin banyaknya helikopter  yang memperkuat TNI AU, tahun 1961 Skadron Helikopter ditingkatkan menjadi Skadron 6 Helikopter dengan kekuatan helikopter SM-1 dan helikopter lainnya serta 22 buah Mi-4 yang baru datang.

Sesuai tuntutan tugas yang  cukup berat dan padat saat itu, baik untuk kepentingan militer maupun non militer, dikarenakan banyaknya pemberontakan di tanah air, pada  bulan Maret 1963, Skadron 6 Helikopter dipindahkan ke PU Semplak (Atang Sendjaya) Bogor.  Tahun 1965, armada helikopter Angkatan Udara terus bertambah, pimpinan TNI AU memandang perlu memekarkan Skadron 6 Helikopter.  Untuk keperluan tersebut, pada 25 Mei 1965, Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani mersemikan berdirinya Wing Operasi 004 Helikopter yang membawahi beberapa skadron, yaitu Skadron Udara 6 Angkut Sedang, Skadron Udara 7 Angkut Khusus, Skadron Udara 8 Angkut Berat, dan Skadron Teknik 6.

Skadron Udara 7 dibentuk sebagai wadah untuk menampung delapan unit SM-1 beserta helikopter Mi-4, semua jenis Bell Trooper, Ranger, dan Iroquios. Helikopter di Skadron 7 bertugas sebagai heli angkut  khusus mendukung kegiatan kepresidenan dan heli latih yang bermarkas di Lanud Atang Sendjaja.   Dengan perannya sebagai helikopter ringan angkut khusus dan latih, maka keterlibatan helikopter SM-1 dalam operasi militer yang terjadi pada masa tahun 1960-an tidak begitu menonjol.

Sejak menjadi kekuatan TNI AU, armada SM-1 beberapa kali melaksanakan kegiatan operasi dan latihan, yaitu:

  1. Resque/Ambulan di Batujajar untuk mendukung latihan RPKAD dalam rangka latihan penerjunan payung sekitar tahun 1964.
  2. SAR di Palembang.
  3. Dokumentasi/pengambilan photo udara pada proyek Jatiluhur bersama-sama dengan orang-orang Perancis.
  4. Sebagai basic traininghelikopter bagi para calon-calon penerbang helikopter di Wing Operasi 004.
  5. Mendukung Operasi Hemat dalam rangka evakuasi jatuhnya pesawat Hercules di Long Bawang Kalimantan Timur tahun 1965.
  6. Mendukung Operasi kemanusiaan dalam rangka evakuasi kapal Corval berbendera Norwegia yang kandas di pantai selatan Ujung Kulon bulan November 1965.  Skadron Udara 7 diminta memberikan pertolongan penyelamatan bagi para penumpang kapal dengan segera mengirimkan helikopter SM-1 yang bergabung bersama helikopter Mi-4 dari Skadron Udara 6.

Masa bakti SM-1 di Tanah Air tak berlangsung lama seperti halnya pesawat terbang dan helikopter yang didatangkan dari Blok Timur lainya, yang mengalami kesulitan dalam pengadaan suku cadang, dan tahun 1970 seluruh SM-1 dinyatakan non operasional.  Dari delapan unit yang ada, masih tersisa sebuah SM-1 dengan tail number H-121, yang kemudian dijadikan monumen di gerbang masuk Lanud Atang Sendjaja, Bogor.

Setelah puluhan tahun menjadi monumen dan identitas Lanud Atang Sendjaya, berdasarkan instruksi Kasau Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, S.I.P pada bulan Agustus 2017  pesawat SM-1 di relokasi ke Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala Yogyakarta, sebagai benda sejarah yang perlu disimpan dan diabadikan untuk dikenang sepanjang masa, sekaligus  sebagai bahan pembelajaran, baik oleh generasi penerus bangsa maupun TNI AU.  Proses relokasi dipimpin langsung oleh Komandan Lanud Atang Sendjaya Marsma TNI Irwan Is. Dunggio, S.Sos. dan didukung Skatek 024, di bawah kendali Kadisaeroau.

Data Tehnis SM-1

Karakteristik umum

Mesin : Ivchenko AI-26V buatan Polandia

Kru : Satu

Kapasitas : 2 penumpang atau 255 kg (561 lb) kargo

Panjang : 12,09 m (39 kaki 8 in)

Diameter rotor : 14,35 m (47 kaki 1 inci)

Tinggi : 3,30 m (10 kaki 10 inci)

Area cakram : 161,7 m² (1.740 kaki²)

Bobot kosong : 1.700 kg (3.740 lb)

Bobot berat : 2,140 kg (4,708 lb)

Maks. Berat lepas landas : 2,330 kg (5,126 lb)

Powerplant : 1 × Ivchenko AI-26V radial engine, 429 kW (575 hp)

 

Kinerja

Kecepatan maksimum        : 185 km / jam (115 mph)

Rentang                                : 430 km (268 mil)

Langit-langit layanan          : 3.500 m (11.480 kaki)

Tingkat pendakian               : 5.3 m / s (1.043 kaki / menit)

Pemuatan disk                     : 13 kg / m² (3 lb / ft²)

Daya / massa                        : 0,20 kW / kg (0,12 hp / lb)

Mil MI-1, Helikopter latih pertama TNI AU

Helikopter SM-1 merupakan salah satu jenis helikopter yang dioperasionalkan TNI AU pada era 1950-an.   Prototipe awal SM-1 adalah GM-1 (Gelikopter Mil atau helikopter Mil), yang diproduksi oleh perusahaan Mikhail Mil.  GM-1 mulai dirancang sejak tahun 1947, dan terbang perdana pada September 1948. Nama perusahaan Mikhail Mil diambil dari nama seorang perancang helikopter pertama Rusia, yaitu Mikhail Leontyevich Mil, seorang Teknisi Skuadron Rotor Pertama Angkatan Udara Soviet pada Perang Dunia II.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, GM-1 terus dikembangkan menjadi helikopter Mil Mi-1.   Tahun 1951, pertama kalinya Mil Mi-1 dipamerkan ke dunia Barat melalui pameran di Tushino Air Display.  Saat itu, Mil Mi-1 telah di produksi dalam jumlah yang banyak untuk angkatan bersenjata Uni Soviet, dan diekspor ke sekutu Uni Soviet untuk keperluan sipil dan militer.

Sejak tahun 1954, Mi-1 diproduksi pula di Polandia oleh perusahaan WSK-Swidnik, dengan nama SM-1, dan dirancang dalam berbagai versi yang berbeda. Sebagian besar produksi helikopter SM-1 di Polandia untuk ekspor. Produksi SM-1 di Polandia mencapai ribuan dan berakhir pada tahun 1965, sedangkan produksi Mi-1 di Uni Soviet berakhir tahun 1961. NATO menyebut Mil Mi-1 dengan sebutan “Hare”/Kelinci, karena bentuknya menyerupai Kelinci.

SM-1 Indonesia

Sejak berdirinya AURI sampai dengan tahun 1952, seluruh kekuatan AURI terdiri dari jenis Fixed Wing Aircraft.   Sejalan dengan perkembangan tehnologi kedirgantaraan dunia internasional, serta didukung kondisi geografis Indonesia, AURI membutuhkan jenis pesawat rotary wing atau helikopter untuk meng-cover tugas yang tidak bisa dilakukan oleh pesawat fixed wing.

Keberadaan pesawat helikopter di Indonesia, diawali dengan berhasilnya Wiweko Soepono menyelesaikan sekolah penerbang helikopter di Amerika tahun 1950 dengan jenis Hiller-360 yang mulai datang di Indonesia tahun 1953, dan Wiweko  menjadi penerbang helikopter pertama Indonesia.  Wiweko kemudian membagi pengetahuan dan pengalamannya kepada Letnan Udara II Joem Soemarsono.  Kemudian Joem Soemarsono bersama Letnan Udara I R. Soemarsono mengikuti sekolah penerbang Helikopter jenis Hiller-12 B di Amerika.  Pulang dari Amerika mereka mentransformasikan ilmu yang didapat kepada Soewoto Soekendar, Suti Harsono dan Kusnidar.   Joem Soemarsono yang juga  seorang teknisi  pesawat helikopter dibantu oleh beberapa teknisi lainnya merawat pesawat-pesawat yang sudah dimiliki yaitu Hiller-360 B, Hiller-12B, Bell-47 G2 Trooper, dan SM-1. Suatu hal istimewa pada era ini adalah bahwa Presiden RI Ir. Soekarno merupakan presiden pertama di dunia yang menggunakan helikopter sebagai pesawat kepresidenan, yang kemudian dalam perkembangan selanjutnya diikuti oleh negara-negara lainnya.

Untuk mewadahi helikopter yang sudah ada, Kasau mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 31 tahun 1956 tentang pembentukan Skadron Percobaan Helikopter.  Dengan bertambahnya jumlah pesawat dan penerbang helikopter, kemudian Kasau mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 93 tanggal 20 Juni 1957 tentang peningkatan Skadron Percobaan Helikopter menjadi Skadron Helikopter, sekaligus sebagai kesatuan di bawah Komando Group Komposisi (KGK).   Skadron ini berkedudukan di PAU Husein Sastranegara dan diresmikan tanggal 20 Juni 1957 serta mengangkat Letnan Udara IR. Soemarsono menjadi Komandan Skadron.  Dengan peningkatan status ini,  meningkat pula peran serta helikopter dalam mendukung tugas-tugas negara, baik OMP maupun OMSP, sehingga penambahan armada helikopter menjadi skala prioritas dalam mengembangkan kekuatan AURI saat itu, yakni dengan mendatangkan berbagai jenis pesawat dari negara-negara Blok Timur, diantaranya dengan membeli helikopter jenis SM-1 dari Polandia sebanyak delapan unit,  yang mulai berdatangan antara tahun 1958-1959.

Kedatangan helikopter SM-1 di Indonesia, juga membawa serta seorang instruktur terbang bernama Mr. Richard Widskorsky yang  mendidik dan melatih dua orang pilot TNI AU yakni Soewoto Soekendar dan Ashadi Tjahjadi untuk mengawaki SM-1.   Dengan semakin banyaknya helikopter  yang memperkuat TNI AU, tahun 1961 Skadron Helikopter ditingkatkan menjadi Skadron 6 Helikopter dengan kekuatan helikopter SM-1 dan helikopter lainnya serta 22 buah Mi-4 yang baru datang.

Sesuai tuntutan tugas yang  cukup berat dan padat saat itu, baik untuk kepentingan militer maupun non militer, dikarenakan banyaknya pemberontakan di tanah air, pada  bulan Maret 1963, Skadron 6 Helikopter dipindahkan ke PU Semplak (Atang Sendjaya) Bogor.  Tahun 1965, armada helikopter Angkatan Udara terus bertambah, pimpinan TNI AU memandang perlu memekarkan Skadron 6 Helikopter.  Untuk keperluan tersebut, pada 25 Mei 1965, Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani mersemikan berdirinya Wing Operasi 004 Helikopter yang membawahi beberapa skadron, yaitu Skadron Udara 6 Angkut Sedang, Skadron Udara 7 Angkut Khusus, Skadron Udara 8 Angkut Berat, dan Skadron Teknik 6.

Skadron Udara 7 dibentuk sebagai wadah untuk menampung delapan unit SM-1 beserta helikopter Mi-4, semua jenis Bell Trooper, Ranger, dan Iroquios. Helikopter di Skadron 7 bertugas sebagai heli angkut  khusus mendukung kegiatan kepresidenan dan heli latih yang bermarkas di Lanud Atang Sendjaja.   Dengan perannya sebagai helikopter ringan angkut khusus dan latih, maka keterlibatan helikopter SM-1 dalam operasi militer yang terjadi pada masa tahun 1960-an tidak begitu menonjol.

Sejak menjadi kekuatan TNI AU, armada SM-1 beberapa kali melaksanakan kegiatan operasi dan latihan, yaitu:

  1. Resque/Ambulan di Batujajar untuk mendukung latihan RPKAD dalam rangka latihan penerjunan payung sekitar tahun 1964.
  2. SAR di Palembang.
  3. Dokumentasi/pengambilan photo udara pada proyek Jatiluhur bersama-sama dengan orang-orang Perancis.
  4. Sebagai basic traininghelikopter bagi para calon-calon penerbang helikopter di Wing Operasi 004.
  5. Mendukung Operasi Hemat dalam rangka evakuasi jatuhnya pesawat Hercules di Long Bawang Kalimantan Timur tahun 1965.
  6. Mendukung Operasi kemanusiaan dalam rangka evakuasi kapal Corval berbendera Norwegia yang kandas di pantai selatan Ujung Kulon bulan November 1965.  Skadron Udara 7 diminta memberikan pertolongan penyelamatan bagi para penumpang kapal dengan segera mengirimkan helikopter SM-1 yang bergabung bersama helikopter Mi-4 dari Skadron Udara 6.

Masa bakti SM-1 di Tanah Air tak berlangsung lama seperti halnya pesawat terbang dan helikopter yang didatangkan dari Blok Timur lainya, yang mengalami kesulitan dalam pengadaan suku cadang, dan tahun 1970 seluruh SM-1 dinyatakan non operasional.  Dari delapan unit yang ada, masih tersisa sebuah SM-1 dengan tail number H-121, yang kemudian dijadikan monumen di gerbang masuk Lanud Atang Sendjaja, Bogor.

Setelah puluhan tahun menjadi monumen dan identitas Lanud Atang Sendjaya, berdasarkan instruksi Kasau Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, S.I.P pada bulan Agustus 2017  pesawat SM-1 di relokasi ke Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala Yogyakarta, sebagai benda sejarah yang perlu disimpan dan diabadikan untuk dikenang sepanjang masa, sekaligus  sebagai bahan pembelajaran, baik oleh generasi penerus bangsa maupun TNI AU.  Proses relokasi dipimpin langsung oleh Komandan Lanud Atang Sendjaya Marsma TNI Irwan Is. Dunggio, S.Sos. dan didukung Skatek 024, di bawah kendali Kadisaeroau.

Data Tehnis SM-1

Karakteristik umum

Mesin : Ivchenko AI-26V buatan Polandia

Kru : Satu

Kapasitas : 2 penumpang atau 255 kg (561 lb) kargo

Panjang : 12,09 m (39 kaki 8 in)

Diameter rotor : 14,35 m (47 kaki 1 inci)

Tinggi : 3,30 m (10 kaki 10 inci)

Area cakram : 161,7 m² (1.740 kaki²)

Bobot kosong : 1.700 kg (3.740 lb)

Bobot berat : 2,140 kg (4,708 lb)

Maks. Berat lepas landas : 2,330 kg (5,126 lb)

Powerplant : 1 × Ivchenko AI-26V radial engine, 429 kW (575 hp)

 

Kinerja

Kecepatan maksimum        : 185 km / jam (115 mph)

Rentang                                : 430 km (268 mil)

Langit-langit layanan          : 3.500 m (11.480 kaki)

Tingkat pendakian               : 5.3 m / s (1.043 kaki / menit)

Pemuatan disk                     : 13 kg / m² (3 lb / ft²)

Daya / massa                        : 0,20 kW / kg (0,12 hp / lb)