Pengunjung Website
Hari Ini: 7,635
Minggu Ini: 180,142
Bulan Ini: 964,811
|
Jumlah Pengunjung: 14,363,664

Wara

Dulu, di awal pembentukannya 12 Agustus 1963, Wanita TNI Angkatan Udara (Wara) memang merupakan realisasi emansipasi wanita.   Mereka ingin sama seperti pria, termasuk menjadi anggota militer Angkatan Udara.   Kala itu, para sarjana, sarjana muda serta lulusan B-1 wanita, menembus kebiasaan dengan menjadi anggota TNI Angkatan Udara.   Kepercayaan pertama diberikan  kepada mereka adalah yang sesuai naluri dan kodrat kewanitaan, ditugasi bidang administrasi, guru bahasa, dokter dan satu dua di bidang hukum.

Setelah berjalan beberapa tahun, “tangan-tangan halus“ itu ternyata mampu menunjukan kemampuan yang lebih.   Tugas-tugas yang berkaitan dengan penerbangan mulai dimasuki.   Mereka ikut mengatur penerbangan melalui menara pengawas lalu lintas udara (tower).   Sejak saat itu Wara terus berkembang, tidak canggung lagi melakukan tugas yang biasanya dilakukan oleh tentara pria.

Tahun 1982, keadaan sudah sangat  berbeda.   Wara bukan hanya sebagai pengatur penerbangan, tetapi lebih dari itu mereka bahkan menjadi orang yang mendengarkan suara-suara petugas tower dari  kokpit pesawat udara, sebagai penerbang.   Mulanya dua orang saja yang mengawali pegang kemudi pesawat terbang, Hermuntarsih dan Sulastri Baso.   Setelah terbukti kemampuannya, jumlah dua orang itu ditambah lima lagi, Inana, Veronika, Ratih, Sumartini dan endrika.

Tugas menerbangkan pesawat militer membuktikan bahwa Wara tidak kalah berani dari militer pria. Diberinya tugas-tugas lain yang lebih menakutkan.   Kali ini melompat dari pesawat terbang, sebagai peterjun bebas (free fall).   Ternyata prestasi Wara di penerjunan pun menakjubkan.   Tim terjun payung Wara yang diberi nama oleh masyarakat sebagai Pink Force, berhasil memecahkan rekor penerjunan beregu maupun perorangan dalam arena Pekan Olahraga Nasional (PON).   Kejuaraan tingkat dunia terjun payung pun pernah diikuti peterjun-peterjun Wara, satu diantaranya adalah Kejuaraan Dunia untuk ketepatan mendarat, di Senayan, 1991.

Di cabang olahraga udara terbang layang, mereka pun berkiprah.   Dalam PON XV di Jawa Timur, Juni tahun 2.000, penerbang-penerbang layang Wara ikut ambil bagian dan bahkan menjadi juara. Medali-medali emas, perak dan perunggu berhasil disumbangkan atlit-atlit Wara melalui cabang terbang layang dalam PON-PON sebelumnya, merupakan bukti bahwa mereka memang patut disegani.

Di tahun 1977, Wara mengukir sejarahnya dengan tambahan prestasi.  Kalau sebelum ini angkernya petugas Provost TNI AU, penjaga gerbang-gerbang pangkalan udara, hanya didapati polisi militer yang berkumis, maka kini bisa ditemui Provost TNI AU yang memakai rok.   Meskipun mereka wanita, namun seragam polisi militernya tetap mencerminkan tingkat disiplin yang tinggi.

Sisi lain kemampuan Wara sebagai militer wanita, adalah di bidang perbaikan pesawat terbang.   Wanita yang berseragam biru muda biru tua itu memasuki skadron-skadron tehnik untuk melakukan tugas-tugas perbaikan pesawat terbang, di mana sebelumnya hanya dilakukan oleh tehnisi pria.   Berbaju werkpack dan bergelut dengan oli, memang tidak banyak orang berminat ke sana, tetapi Wara ada di sana.

Tehnisi Pesawat Terbang.

Tujuh penerbang Wara, rata-rata sudah 18 tahun menggeluti penerbangan.   Dari dua kali pendidikan penerbang militer wanita, dua orang yang senior, Sulastri Baso dan Hermuntarsih, sudah mencapai pangkat Letnan Kolonel Panerbang.  Lima yang lain, umumnya berpangkat Kapten Penerbang kecuali yang mengundurkan diri lebih awal dari Wara, Sumartini dan Hendrika Aries.   Namun demikian, kedua wanita itu pun masih menggeluti penerbangan di luar TNI AU sebagai pilot sipil, seperti halnya Sumartini yang menerbangkan Pesawat Angkut Transall, buatan Perancis,  milik PT. Manunggal Air.

Sementara yang tetap di TNI AU, semua sudah memasuki staf baik di Markas Besar maupun di markas-markas satuan daerah.   Kapten Penerbang Inana Musailimah misalnya, orang yang berhasil menyandang captain pilot pada Pesawat Casa 212, kini ditugaskan di staf pengasuh pada Akademi TNI Angkatan Udara (AAU), Yogyakarta, yang menurut rencana tahun depan akan menerima taruna wanita.

Berbeda dengan para penerbang yang sudah pindah tugas ke dalam gedung, maka untuk polisi militer (provost) yang jumlahnya 20 orang, sepenuhnya di lapangan.   Wanita umumnya takut panas, namun tidak demikian bagi provost-provost wanita itu.   Dengan tutup kepala baret biru, mengenakan sabuk kopelriem putih, pistol dan terkadang memakai sepatu lars, mereka mengatur dan menjaga keamanan di pangkalan-pangkalan udara.   Tidak canggung lagi, karena mereka menyadari benar akan tugasnya.   Tugas bidang        kepolisian seperti yang dilakukan Sersan Adveni dan Sersan Rina Dwi Rejeki itu sudah menjadi pilihannya dan mereka bangga melakukannya.

Juga para tehnisi wanita,  mereka pun sudah terbiasa harus bertangan hitam dan berbaju kotor.  Tidak mengeluh mereka melakukan tugas perbaikan pesawat tempur, angkut maupun helikopter, karena pekerjaan itu mereka senangi.   Sersan Avridayanti, Sersan Dian Melani atau Sersan Iin Herawati, tiga dari 11 wanita-wanita tehnisi itu, hampir setiap hari berada di “kolong“ Pesawat Fokker F-27 Troopship atau Helikopter S-58T Sikorsky Twinpac.   Mereka menyatakan bangga, karena hanya merekalah wanita-wanita yang bisa melakukan tugas memperbaiki pesawat terbang.

Olahraga Dirgantara.

Prestasi Wara di bidang olahraga dirgantara pun membanggakan.  Tidak semua cabang olahraga udara ikut serta dalam PON.   Hanya empat cabang.  Justru keikutsertaan cabang terjun payung dan terbang layang dalam PON XV di Jawa Timur, menguntungkan para atlit peterjun dan penerbang layang Wara.  Pada PON XIV lalu misalnya, medali emas dan perak berhasil dimiliki Sersan Dewi Saryaningsih dan Sersan Retno Supriyantari yang telah menjadi yang terbaik masing-masing dari cabang terbang layang dan terjun payung untuk peserta wanita.   Sebelumnya, pada kejuaraan dunia terjun payung untuk ketepatan mendarat di Senayan, tim Pink Force yang terdiri Sersan Endang Dwi Sulistyani, Sersan Ni Putu Mardiyani, Sersan Ike Pujiati dan Sersan Retno Supriyantari, yang merupakan tim Wanita TNI AU berhasil memikat dan menjadi favorit yang selalu menghiasi halaman surat kabar kala itu. Mereka memang wanita-wanita jago.

Wara

Dulu, di awal pembentukannya 12 Agustus 1963, Wanita TNI Angkatan Udara (Wara) memang merupakan realisasi emansipasi wanita.   Mereka ingin sama seperti pria, termasuk menjadi anggota militer Angkatan Udara.   Kala itu, para sarjana, sarjana muda serta lulusan B-1 wanita, menembus kebiasaan dengan menjadi anggota TNI Angkatan Udara.   Kepercayaan pertama diberikan  kepada mereka adalah yang sesuai naluri dan kodrat kewanitaan, ditugasi bidang administrasi, guru bahasa, dokter dan satu dua di bidang hukum.

Setelah berjalan beberapa tahun, “tangan-tangan halus“ itu ternyata mampu menunjukan kemampuan yang lebih.   Tugas-tugas yang berkaitan dengan penerbangan mulai dimasuki.   Mereka ikut mengatur penerbangan melalui menara pengawas lalu lintas udara (tower).   Sejak saat itu Wara terus berkembang, tidak canggung lagi melakukan tugas yang biasanya dilakukan oleh tentara pria.

Tahun 1982, keadaan sudah sangat  berbeda.   Wara bukan hanya sebagai pengatur penerbangan, tetapi lebih dari itu mereka bahkan menjadi orang yang mendengarkan suara-suara petugas tower dari  kokpit pesawat udara, sebagai penerbang.   Mulanya dua orang saja yang mengawali pegang kemudi pesawat terbang, Hermuntarsih dan Sulastri Baso.   Setelah terbukti kemampuannya, jumlah dua orang itu ditambah lima lagi, Inana, Veronika, Ratih, Sumartini dan endrika.

Tugas menerbangkan pesawat militer membuktikan bahwa Wara tidak kalah berani dari militer pria. Diberinya tugas-tugas lain yang lebih menakutkan.   Kali ini melompat dari pesawat terbang, sebagai peterjun bebas (free fall).   Ternyata prestasi Wara di penerjunan pun menakjubkan.   Tim terjun payung Wara yang diberi nama oleh masyarakat sebagai Pink Force, berhasil memecahkan rekor penerjunan beregu maupun perorangan dalam arena Pekan Olahraga Nasional (PON).   Kejuaraan tingkat dunia terjun payung pun pernah diikuti peterjun-peterjun Wara, satu diantaranya adalah Kejuaraan Dunia untuk ketepatan mendarat, di Senayan, 1991.

Di cabang olahraga udara terbang layang, mereka pun berkiprah.   Dalam PON XV di Jawa Timur, Juni tahun 2.000, penerbang-penerbang layang Wara ikut ambil bagian dan bahkan menjadi juara. Medali-medali emas, perak dan perunggu berhasil disumbangkan atlit-atlit Wara melalui cabang terbang layang dalam PON-PON sebelumnya, merupakan bukti bahwa mereka memang patut disegani.

Di tahun 1977, Wara mengukir sejarahnya dengan tambahan prestasi.  Kalau sebelum ini angkernya petugas Provost TNI AU, penjaga gerbang-gerbang pangkalan udara, hanya didapati polisi militer yang berkumis, maka kini bisa ditemui Provost TNI AU yang memakai rok.   Meskipun mereka wanita, namun seragam polisi militernya tetap mencerminkan tingkat disiplin yang tinggi.

Sisi lain kemampuan Wara sebagai militer wanita, adalah di bidang perbaikan pesawat terbang.   Wanita yang berseragam biru muda biru tua itu memasuki skadron-skadron tehnik untuk melakukan tugas-tugas perbaikan pesawat terbang, di mana sebelumnya hanya dilakukan oleh tehnisi pria.   Berbaju werkpack dan bergelut dengan oli, memang tidak banyak orang berminat ke sana, tetapi Wara ada di sana.

Tehnisi Pesawat Terbang.

Tujuh penerbang Wara, rata-rata sudah 18 tahun menggeluti penerbangan.   Dari dua kali pendidikan penerbang militer wanita, dua orang yang senior, Sulastri Baso dan Hermuntarsih, sudah mencapai pangkat Letnan Kolonel Panerbang.  Lima yang lain, umumnya berpangkat Kapten Penerbang kecuali yang mengundurkan diri lebih awal dari Wara, Sumartini dan Hendrika Aries.   Namun demikian, kedua wanita itu pun masih menggeluti penerbangan di luar TNI AU sebagai pilot sipil, seperti halnya Sumartini yang menerbangkan Pesawat Angkut Transall, buatan Perancis,  milik PT. Manunggal Air.

Sementara yang tetap di TNI AU, semua sudah memasuki staf baik di Markas Besar maupun di markas-markas satuan daerah.   Kapten Penerbang Inana Musailimah misalnya, orang yang berhasil menyandang captain pilot pada Pesawat Casa 212, kini ditugaskan di staf pengasuh pada Akademi TNI Angkatan Udara (AAU), Yogyakarta, yang menurut rencana tahun depan akan menerima taruna wanita.

Berbeda dengan para penerbang yang sudah pindah tugas ke dalam gedung, maka untuk polisi militer (provost) yang jumlahnya 20 orang, sepenuhnya di lapangan.   Wanita umumnya takut panas, namun tidak demikian bagi provost-provost wanita itu.   Dengan tutup kepala baret biru, mengenakan sabuk kopelriem putih, pistol dan terkadang memakai sepatu lars, mereka mengatur dan menjaga keamanan di pangkalan-pangkalan udara.   Tidak canggung lagi, karena mereka menyadari benar akan tugasnya.   Tugas bidang        kepolisian seperti yang dilakukan Sersan Adveni dan Sersan Rina Dwi Rejeki itu sudah menjadi pilihannya dan mereka bangga melakukannya.

Juga para tehnisi wanita,  mereka pun sudah terbiasa harus bertangan hitam dan berbaju kotor.  Tidak mengeluh mereka melakukan tugas perbaikan pesawat tempur, angkut maupun helikopter, karena pekerjaan itu mereka senangi.   Sersan Avridayanti, Sersan Dian Melani atau Sersan Iin Herawati, tiga dari 11 wanita-wanita tehnisi itu, hampir setiap hari berada di “kolong“ Pesawat Fokker F-27 Troopship atau Helikopter S-58T Sikorsky Twinpac.   Mereka menyatakan bangga, karena hanya merekalah wanita-wanita yang bisa melakukan tugas memperbaiki pesawat terbang.

Olahraga Dirgantara.

Prestasi Wara di bidang olahraga dirgantara pun membanggakan.  Tidak semua cabang olahraga udara ikut serta dalam PON.   Hanya empat cabang.  Justru keikutsertaan cabang terjun payung dan terbang layang dalam PON XV di Jawa Timur, menguntungkan para atlit peterjun dan penerbang layang Wara.  Pada PON XIV lalu misalnya, medali emas dan perak berhasil dimiliki Sersan Dewi Saryaningsih dan Sersan Retno Supriyantari yang telah menjadi yang terbaik masing-masing dari cabang terbang layang dan terjun payung untuk peserta wanita.   Sebelumnya, pada kejuaraan dunia terjun payung untuk ketepatan mendarat di Senayan, tim Pink Force yang terdiri Sersan Endang Dwi Sulistyani, Sersan Ni Putu Mardiyani, Sersan Ike Pujiati dan Sersan Retno Supriyantari, yang merupakan tim Wanita TNI AU berhasil memikat dan menjadi favorit yang selalu menghiasi halaman surat kabar kala itu. Mereka memang wanita-wanita jago.